Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah

Kali ini Tere Liye mengambil setting pulau tercinta saya, Kalimantan. Tapi bukan Kalimantan Selatan kampung halaman yang takkan pernah terganti untuk saya cintai sepenuh hati walau kini banyak berpijak di Kalimantan Bagian Timur. Tapi Kalimantan Barat, satu daratan tapi jika menempuhnya lewat udara harus singgah dulu di Pulau Jawa. Tidak ada penerbangan langsung ke Pontianak dari Banjarmasin (dulu sih, entah sekarang.) Dari Balikpapan saya tak tahu dan enggan mencari tahu sekarang :p

Tokoh utama dalam cerita ini adalah Borno, yang dari paragraph awal buku ini sudah bercerita tentangnya, tentang Borno yang berusia enam tahun tapi sudah memikirkan hal-hal aneh. Salah satunya sibuk berpikir : Jika kita buang air besar di hulu Kapuas, kira-kira butuh berapa hari kotoran itu akan tiba di muara sungai, melintas di depan rumah papan kami?

Lewat pertanyaan itulah kemudian awal cerita bergulir, kita diperkenalkan dengan tokoh Bapak, Ibu, Koh Acong, Cik Tulani dan Pak Tua, tokoh-tokoh pendamping yang akan mewarnai jalan cerita. Hanya Bang Togar dan tentu saja Mei yang diceritakan bukan di bab prolog.

Cerita bergulir, usia 12 ayah Borno wafat. Tragis. Tapi kehidupan harus terus berjalan, Borno yang sudah menginjak dewasa kemudian mencoba mencari pekerjaan. Beragam pekerjaan kemudian dialaminya hingga kemudian berlabuh pada satu pekerjaan yang membuat dia menjumpai seorang gadis Cina yang meninggalkan sepucuk angpau merah di sepitnya. Yah, pekerjaan Borno adalah pengemudi sepit.  Hal yang kemudian membuat saya penasaran bagaimana rasanya naik sepit? Wkwkwkwk… Apa sama dengan yang saya naiki waktu menyebrang ke Pulau Pinus? Atau sama dengan speed2 di Pelabuhan yang bisa menyebrang dari Panajam ke Balikpapan (yg ini belum coba, tapi kata suami ga sama)?

Kembali ke cerita, seperti judulnya Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, maka cerita ini ya bergulir tentang Burno dan gadis yang meninggalkan Angpau merah di sepitnya.  Gadis yang membuat hidup Burno jadi tak sama lagi, yang membuat dia berusaha datang tepat waktu ke dermaga sepit dan mengincar antrian sepit nomor 13. Untuk apa? Apalagi kalau bukan untuk mengincar gadis itu duduk manis di sepitnya, berkenalan dan berharap bisa menjalin hubungan ke arah jenjang lebih serius? Berhasilkan Borno? Ahaha… Rumit sekali cerita yang bergulir kemudian tapi sukses bikin penasaran…

**

Sebenarnya cerita ini pernah tayang di FB, saya menyimak episode2 awal dan kemudian mengabaikannya lagi. Tapi panik juga waktu penulisnya bilang mau menghentikan tayangannya di FB. Walau saya tak menyimaknya lagi tapi siapa tahu suatu saat saya berniat untuk membacanya sampai tuntas. Tentu saja tak menarik membaca cerita jika tak sampai ending.

Tapi justru saya menuntaskan cerita ini lewat bukunya, buku yang maju mundur saya bawa ke kasir karena menilai saya tak terlalu suka settingnya. Setting pengemudi sepit di Kalimantan apa menariknya? Lebih baik saya membeli cerita tentang seorang direktris muda atau bankir yang kerja di belantara ibu kota, yang punya hobby nongkrong di café dan menghabiskan waktu di mall. Lebih glamour dan lebih enak lah buat dilahap ceritanya.

Tapi saya salah, kesederhanaan dari cerita ini sungguh memukau di tangan seorang penulis sekaliber Tere Liye. Seorang Burno, pengemudi Sepit yang tinggal di Gang Sempit ini benar-benar menarik perhatian saya. Cerita dia yang jatuh cinta dengan seseorang yang kemudian diketahui berprofesi sebagai Guru membuat saya penasaran bagaimana ujungnya. Terlebih lagi cerita ini beberapa kali membuat saya terkekeh dan terpingkal, sampai memukul-mukul kasur (maaf ya kasur) oleh tingkah laku para pelaku di dalamnya yang kocak. Tak lebay dalam memberikan humor tapi sungguh menyegarkan.

Belum lagi nilai-nilai kehidupan yang diberikan di dalamnya. Tere Liye tentu saja tak hanya menyajikan sebuah cerita kosong tanpa makna. Akan ada sesuatu yang kita ambil di sepanjang cerita. Apa saja? Bacalah… wkwkwk…

Saya juga suka sekali ketika Burno dan beberapa tokoh di dalamnya bertandang ke Kuching.

“Selamat datang di Kuching, Nak. Inilah kota terbesar di seluruh Kalimantan. Kota kalian, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan apalagi Palangkaraya, tidak ada apa-apanya, jauh tertinggal. Kota kalian itu kecil saja disbanding kotaku ini. Macam kampung, hah.”

Sebuah kalimat yang bisa membuat tanduk berdiri buat yang sensitif dengan hubungan Negara kita dengan negeri jiran itu termasuk Andi, teman akrabnya Burno. Tapi saya tidak. Hehehe…

Sesaat setelah selesai membaca buku ini, saya membongkar MP penulisnya demi mendapatkan ending yang tersaji di dunia maya, kata suami endingnya beda dengan yang di buku. Dan saya pun membaca episode akhir yang ada di MP. Hasilnya? Saya lebih suka ending yang ada di buku. Selera pasar lah. Wkwkwkwk… atau selera saya yang pasaran? Entah :p

Cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan bakso, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita besarkan, terus menggumpal membesar. Coba saja kau cuekin, kau lupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau bosan makan bakso.” 

“Biarkan semua mengalir bagai Sungai Kapuas. Maka kita lihat, apakah aliran perasaan itu akan semakin membesar hingga tiba di muara atau habis menguap di tengah perjalanan.”

Dan saya suka sekali dengan pernyataan Burno tentang perasaannya : “Kau satu-satunya kesempatan yang pernah kumiliki, dan aku tidak akan pernah menggantinya dengan siapa pun”.. cieeee… hati wanita mana yang ga luluh, tapi sayang kalimat itu hanya tercetus di hati Borno :p

10 thoughts on “Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah

  1. BSF says:

    Aku termasuk pembaca versi FB, karena dapat bocoran dari penulis kalo endingnya bakal diubah pada versi cetak, ya langsung baca akhirnya aja, ternyata benar, emang berubah…;)

    • Jadi ntar yang buku mau dibaca ga ka? 😀
      Asyikan yang di buku ka, lebih rapi juga ga berbelit2 😀
      btw, yang negeri para bedabah ulun ternyata dah baca bab2 awalnya 😀

    • salam kenal juga mbak Ira. Maaf baru di approve pesannya sembunyi di spam 🙂
      terima kasih sudah berkunjung ya mbak, saya belajar nulis catatan perjalanan dari mb Ira nih 🙂
      Iya, kalau suami sy fans berat tulisan2 tere liye. Tapi kalau melihat review di GR ga semua suka. Wajarlah manusia memang tak bisa diterima sepenuhnya oleh seluruh manusia 🙂

Leave a reply to danirachmat Cancel reply